Filosofi Kopi (Dewi Dee Lestari)

Jadi ceritanya, gue baru saja re-read Filosofi Kopi punyanya Dewi Dee Lestari. Ya, kalian pasti tahu siapa dia.

And here's my review!

 


Menulis bukanlah hal baru bagi Dewi Lestari atau lebih dikenal dengan nama pena Dee yang lahir di Bandung tanggal 20 Januari 1976. Sebagian jiwanya berada di antara deret kalimat yang tersusun apik untuk menciptakan sebuah karya sastra populer. Tulisannya menjadi sasaran penggemar sastra Indonesia. Meski pun karier menulisnya mengalami pasang surut namun setelah mengeluarkan novel berjudul Supernova, Rectoverso, dan Perahu Kertas akhirya Dewi Lestari berhasil meluncurkan buku antologi pertamanya yang berjudul Filosofi Kopi tahun 2006. Sebagai buku kumpulan cerita dan prosa mengenai cinta serta transformasi cinta, Dewi Lestari memilih delapan belas karya terbaiknya dalam satu dekade yang dimulai sejak tahun 1995 hingga tahun 2005 seperti ‘Surat yang Tak Pernah Sampai’, ‘Diam’, ‘Spasi’, dan ‘Cetak Biru’. Hal tersebut membuat majalah Tempo menobatkan Filosofi Kopi menjadi Karya Sastra Terbaik 2006 dan menjadi salah satu dari 5 Besar Khatulistiwa Literary Award pada tahun yang sama. Dewi Lestari membuat setiap tulisannya menjadi karya yang berkarakter sebagaimana ia mengibaratkan perbedaan cita rasa khas pada kopi. Penggambaran khusus tersebut, ia tuangkan dalam cerita pendek andalan tahun 1996 sebagai karya pembuka yang juga berjudul Filosofi Kopi.

 Cerita pendek ini menceritakan tentang kecintaan seorang pria bernama Ben terhadap kopi. Ia bermimpi menjadi peracik kopi terhandal di dunia. Untuk menggapainya, Ben membangun sebuah kedai kopi di Jakarta bersama sesosok sahabat bernama Jody. Kedai itu mereka beri nama Filosofi Kopi karena Ben selalu menyuguhkan cita rasa berkarakter sesuai filosofi pada setiap ramuan kopi hasil buatan tangannya. Seluruh upaya dan kegigihan Ben kemudian diuji oleh kedatangan dua orang pria pada waktu yang berbeda. Pria pertama menginginkan racikan kopi dengan rasa yang sempurna sebagai wujud penggambaran kesuksesan hidup sedangkan pria yang kedua menganggap bahwa kopi Ben tidak senikmat kopi tiwus. Rasa penasaran pun meluap-luap dalam diri Ben. Untuk membuktikannya, Ben pergi bersama Jody ke gubuk bambu reyot milik Pak Seno di Jawa Tengah sekedar untuk mengetahui rasa kopi tiwus yang dimaksud pelanggannya. Setelah mencicipi secangkir kopi tiwus, di sinilah sesungguhnya perjuangan dalam menggapai angan dimulai. Ben harus berjuang melawan dirinya sendiri, menentang kariernya dan mempertaruhkan masa depannya. Di dalam hidup yang tidak sempurna, hanya akan ada dua hal yang terjadi, tetap menggantungkan angan atau meletakannya di permukaan tanah. 

Sesuai dengan tema perjuangan dalam menggantungkan angan, Filosofi Kopi menyajikan problematika yang tidak sederhana seperti cerita pendek pada umumnya serta pelajaran mengenai kegigihan dan upaya dalam menggapai kesempurnaan cita-cita untuk diwujudkan dalam realita. Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga serta alur maju yang tersusun apik dimulai dari perkenalan hingga menyentuh penyelesaian, para pembacanya dapat dengan mudah memahami jalan cerita yang dibuat oleh penulis. Di samping kelebihannya sebagai karya sastra terbaik tahun 2006, buku ini menyimpan kekurangan akibat cara penuturan yang tidak biasa dibanding penulis-penulis lain. Hal ini membuat para pembacanya membutuhkan konsentrasi dan pemahaman lebih untuk mencerna beberapa kalimat di dalamnya. Ada pula kata-kata dan istilah yang tidak umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Cerita pendek berjudul Filosofi Kopi adalah karya yang menarik dan layak untuk dibaca karena memberikan pelajaran melalui pesan moral yang tersirat di dalamnya. Namun, Filosofi Kopi tidak direkomendasikan untuk pembaca pada seluruh tingkat umur tetapi disarankan hanya untuk pembaca mulai dari tingkat SMA ke tingkat yang lebih tinggi.


             Tapi.... 5 bintang dari 5 bintang! Yihuyyy!

Comments

Popular Posts